Proyek Embung Puluhan Miliar di Maluku Barat Daya: Antara Janji dan Kenyataan

Ambon, lintas-berita.com, – Proyek pembangunan embung di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku yang menghabiskan anggaran puluhan miliar, mulai menuai banyak kritik.

Proyek yang seharusnya menjadi solusi kebutuhan air baku bagi masyarakat justru dinilai amburadul dan tidak memberikan manfaat yang dijanjikan. Sejumlah fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar proyek ini tidak selesai dengan baik, bahkan terkesan mubazir.

Embung dirancang sebagai wadah untuk menampung air hujan dan limpasan air guna memenuhi kebutuhan air baku di musim kemarau. Selain itu, embung juga berpotensi menjadi habitat bagi flora dan fauna lokal.

Namun, hasil di lapangan jauh dari harapan. Banyak embung yang dibangun di wilayah MBD tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah embung di Desa Tomra, Kecamatan Pulau Leti.

Kasus Embung di Desa Tomra
Sesuai dokumen kontrak, embung di Desa Tomra dirancang dengan lebar sekitar 100 meter. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa embung ini hanya memiliki lebar sekitar 20 meter.

Saat pengukuran awal, petugas BWS Maluku memasang patok yang menunjukkan luas proyek lebih dari 100 meter, membentang dari kaki dua gunung yang dipisahkan oleh kali mati (sungai yang hanya mengalir saat musim hujan).

Namun, ketika proyek selesai, luas embung hanya sebatas kali mati tersebut, jauh dari spesifikasi yang direncanakan.

Kondisi serupa terjadi di beberapa lokasi lain, seperti Batumiau, Pura Pura, Nomaha, dan Oirata Timur. Embung-embung di lokasi tersebut tidak dapat dimanfaatkan dan hanya menjadi monumen terbengkalai.

Masyarakat setempat yang seharusnya mendapat manfaat dari proyek ini justru tidak merasakan dampak positifnya sama sekali.

Proyek Di Pulau Moa Terbengkalai
Di Pulau Moa, tepatnya di kaki Gunung Kerbau, proyek embung yang dikerjakan PT. Sabar Jaya Karyatama juga belum rampung hingga kini.

Proyek senilai Rp22 miliar lebih ini seharusnya selesai dalam 240 hari kalender sejak 3 Januari 2024. Namun, pada awal 2025, proyek ini masih menyisakan banyak pekerjaan.

Embung di Pulau Moa dirancang dengan daya tampung hingga 400.000 kubik per liter dan dilengkapi berbagai fasilitas, seperti kolam genangan, main dam, spillway, rumah jaga, reservoir, hingga taman rumput sintetis.

Namun, beberapa fasilitas seperti rumah jaga, taman vegetasi, toilet, paving block, ruang publik, serta pembatas jalan belum selesai dikerjakan.

Bahkan, jalan beton setebal 20 cm dan rumput sintetis yang direncanakan juga belum terealisasi meskipun masa kontrak telah berakhir.

Dugaan Penyebab dan Dampak pada Masyarakat
Diduga, pelaksanaan proyek embung oleh BWS Maluku lebih mengutamakan penyelesaian cepat tanpa memperhatikan kualitas dan kebermanfaatan proyek bagi masyarakat MBD.

Beberapa pihak bahkan mencurigai adanya motif untuk “mengisi kantong” dibanding memberikan hasil yang sesuai spesifikasi dan kebutuhan warga setempat.

Kegagalan proyek embung ini membawa dampak besar bagi masyarakat MBD. Selain kehilangan akses terhadap sumber air yang memadai, warga juga kehilangan potensi peningkatan kualitas hidup yang seharusnya diberikan oleh proyek ini.

Air bersih menjadi kebutuhan mendesak, terutama di musim kemarau, dan ketergantungan masyarakat pada sumber air alternatif justru semakin meningkat.

Kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pihak terkait, termasuk pemerintah daerah dan pusat. Evaluasi mendalam terhadap pelaksanaan proyek embung diperlukan agar masalah serupa tidak terulang.

Selain itu, transparansi dalam penggunaan anggaran dan pelaksanaan proyek harus ditingkatkan untuk memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat. (Tim.LB)